Sabtu, 16 November 2013

Laporan Praktek Kerja Lapangan

PENGUKURAN C/N SERASAH DI ECOPARK SEGMEN JAWA
PUSAT PENELITIAN BIOLOGI LIPI CIBINONG


                                 I.            PENDAHULUAN
Hutan memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena memiliki jenis-jenis kayu perdagangan yang berkualiatas tinggi. Di sisi lain hutan adalah penghasil bahan-bahan organik atau hara secara terus menerus. Dengan adanya sifat hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman yang tinggi,  maka dianggap bahwa hutan tropika itu kaya dan subur. Namun sebenarnya hutan tropis mempunyai tanah yang miskin akan unsur hara.
            Hutan hujan tropis adalah ekosistem dengan laju dekomposisi serasah tercepat dibandingkan ekosistem lainnya. Menurut Wiharto (2003) hal ini disebabkan karena serasah yang jatuh ke permukaan tanah tidak akan lama tertimbun di lantai hutan tetapi segera mengalami dekomposisi, sehingga dapat segera diserap kembali oleh tumbuhan. Laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya, laju ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kelembaban udara, organisme flora dan fauna mikro, serta kandungan kimia dari serasah (Barbour et al., 1987 dalam Wiharto, 2003).
            Secara kuantitas, tebal tipisnya tanah hutan dan tersedianya unsure hara dalam tanah ditentukan oleh jumlah gugur serasah vegetasi penutupnya. Faktor-faktor yang menentukan jumlah gugur serasah dalam hutan adalah tipe vegetasi, kondisi lingkungan seperti suhu dan curah hujan. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa jumlah guguran serasah didaerah tropika lebih banyak dari hutan temperate.
            Serasah yang gugur ke lantai hutan akan mengalami perubahan, baik karena tekanan fisik maupun aktivitas biologis. Akibatnya terjadi penghancuran, penguraian dan perubahan susunan yang disebut dekomposisi. Peristiwa jatuhnya serasah dan dekomposisi merupakan dua peristiwa yang terjadi di luar organ tumbuhan, yaitu terlepasnya organ tumbuhan dari bagian yang hidup serta berubahnya bahan organik menjadi unsur  hara dan mineral. Walaupun demikian, kedua peristiwa tersebut penting bagi ekosistem, yaitu sebagai masukan dan luaran  bagi tanah dan berperan penting dalam siklus hara dan aliran energi di alam.
            Bahan serasah yang mempunyai nisbah C/N yang tinggi lebih sulit terdekomposisi dibandingkan dengan bahan serasah yang mempunyai nisbah C/N rendah (Murayama & Zahari, 1992). Serasah yang berada pada daerah yang mempunyai jumlah mikroorganisme yang lebih banyak cenderung lebih cepat terdekomposisi dibandingkan dengan daerah yang mempunyai jumlah mikroorganisme sedikit (Saetre, 1998). Pada umumnya, serasah dari tumbuhan yang hidup di lingkungan yang miskin unsur hara lebih sulit terdekomposisi dan akan menyebabkan lambatnya siklus hara pada lingkungan tersebut dibandingkan serasah yang berasal dari tumbuhan yang hidup pada lingkungan yang kaya hara (Breemen, 1995).
            Produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Analisis dari komposisi hara dalam produksi serasah dapat menunjukkan hara yang membatasi dan efisiensi dari nutrisi yang digunakan, sehingga siklus nutrisi dalam suatu ekosistem akan terpelihara (Vitousek, 1982; Rahajoe et al., 2004 dalam Mahmudi, 2010).
Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong terletak di JL. Raya Jakarta - Bogor Km.46 Cibinong 16911 Bogor – Indonesia. Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong mempunyai visi dan misi. Visinya yaitu menjadi pusat acuan terpercaya bidang pemberdayaan dan konservasi aset keanekaragaman hayati Indonesia, sedangkan misinya yaitu :
1.      Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memberdayakan dan melestarikan aset keanekaragaman hayati Indonesia agar menjadi pendorong utama dalam pembangunan berkelanjutan bangsa yang berwajah kemanusiaan;
2.      Ikut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tersedianya peneliti yang professional, teknisi yang andal, dan staf pendukung penelitian yang mumpuni serta prasarana dan sarana yang terakreditasi, sehingga mampu menjadi center of excellence dalam bidang konservasi dan pengungkapan potensi sumberdaya hayati Indonesia;
3.      Memperkuat kerjasama dan membentuk jaringan diantara pemangku kepentingan yang bergerak dalam isu keanekaragaman hayati, ekosistem, dan lingkungan agar masyarakat Indonesia menjadi peduli, berdaya, mandiri, cerdas dalam memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayatinya;
4.      Meningkatkan peran serta masyarakat dan sektor swasta serta mendorong otonomi daerah dalam menggali dan memanfaatkan potensi sumber daya alamnya secara optimum, lebih adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan yang bertanggung jawab dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
5.      Memberikan landasan ilmiah untuk pengambilan kebijakan serta tersusun dan tegaknya supermasi hukum terutama undang-undang yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hayati dan nir-hayati serta lingkungan, merancang dan mematuhi peraturan pemerintah pusat dan daerah terutama rencana dan tata ruang wilayah, serta menghormati kearifan masyarakat adat dan tradisional untuk memperkokoh persatuan bangsa sekaligus memperluas daya saing masyarakat.
Tujuan dari Praktek Kerja Lapangan ini adalah untuk mengukur  jumlah C/N yang tertimbun dalam serasah yang ada di ” Ecopark Segmen Jawa ” Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Manfaat Praktek Kerja Lapangan ini diharapkan dapat  mengetahui dan memahami teknik pengukuran C/N pada serasah di ”Ecopark Segmen Jawa ” Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong.
















II. MATERI DAN CARA KERJA
1. Materi, Lokasi dan Waktu Praktek Kerja Lapangan
1.1 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan mengenai Pengukuran C/N Serasah di Ecopark Segmen Jawa Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong adalah kamera digital, kertas, alat tulis, kuadran berukuran 50 x 50 cm, plastik seal, gunting, blender, saringan dengan ukuran lubang 0,6 mm,   meteran gulung 50 m, C/N Coder, kuas, koran, kertas semen, spatula,  timbangan, oven, Hippuric acid dan tali rafia.

1.2 Lokasi dan Waktu Praktek Kerja Lapangan
Praktek Kerja Lapangan ini dilaksanakan selama 10 hari, dimulai tanggal 28 Januari – 8 Februari 2013 di Ecopark Segmen Jawa, Laboratorium Ekologi Tanah dan Serasah  Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong.
2. Cara Kerja
a.    Melakukan observasi terlebih dahulu di Ecopark Segmen Jawa Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong
b.    Membagi daerah tersebut menjadi plot atau petak 50 x 100 m berbentuk persegi (kotak)
c.    Plot atau petak tersebut dibagi menjadi 50 sub petak berukuran 10 x 10 m



A10
A9
A8
A7
A6
A5
A4
A3
A2
A1
B10
B9
B8
B7
B6
B5
B4
B3
B2
B1
C10
C9
C8
C7
C6
C5
C4
C3
C2
C1
D10
D9
D8
D7
D6
D5
D4
D3
D2
D1
E10
E9
E8
E7
E6
E5
E4
E3
E2
E1

d.   Mengambil sampel serasah pada 10 titik secara acak dengan dua kali pengulangan dari 50 sub petak menggunakan kuadran berukuran 50 x 50 cm
e.    Serasah diambil dan dimasukan ke dalam plastik seal serta dipisahkan antara daun, batang dan rantingnya
f.     Berat basah serasah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam Koran dan di oven selama ± 3 hari pada suhu 700C
g.    Berat kering serasah ditimbang
h.    Serasah yang sudah ditimbang berat keringnya kemudian dihaluskan menggunakan blender dan disaring agar mendapatkan bubuk yang lebih lembut
i.      Melakukan analisis karbon dan nitrogen di laboratorium untuk melihat kandungan karbonnya menggunakan C/N Coder
j.      Menganalisa data yang telah didapat
Komponen serasah yang telah dipisahkan atas : daun, ranting, dan batang ditimbang. Jumlah produksi serasah dapat diketahui dengan menjumlahkan berat kering serasah yang terkumpul dalam suatu periode tertentu.  Satuan yang digunakan adalah g/m/waktu atau ton/ha/tahun. Kemudian dihitung persen kadar air menggunakan persamaan :
%KA = ((BBc – BKc) / BKc) x 100%
Persen KA yang diperoleh digunakan untuk menghitung BK total plot per kelas umur dengan persamaan sebagai berikut :
BK = (BB/ (1 + %KA))
     Keterangan :
     BK         : Berat Kering
     BB         : Berat Basah
     %KA     : Persen Kadar Air
     BBc       : Berat Basah contoh
     BKc       : Berat Kering contoh

Berat kering total plot dikonversi ke dalam satuan biomassa tumbuhan bawah (ton/ha). Hasil karbon merupakan 46% dari biomassa.
Berkurangnya berat serasah dan pelepasan hara dihitung dengan cara yang sama dengan yang dilakukan oleh Guo & Sims (1999) dan Guo & Sims (2001) :
L % = 100 (Wo – Wt) / Wo
R % = 100 (WoCo – WtCt) / WoCo
       Keteranagan :
       L          : hilangnya berat serasah
       Wo      : berat serasah sebelum penelitian dimulai
       Wt       : berat kering serasah yang tertinggal setelah waktu t
       R         : hara yang terlepas
       Co       : konsentrasi hara (mg kg-1) pada serasah awal
       Ct        : konsentrasi hara (mg kg-1) pada serasah yang masih tertinggal

Kebanyakan peneliti yang melakukan penelitian tentang dekomposisi, seperti Guo & Sims (1999); Regina &Tarazona (2001); Ribero et al (2002); dan Rogers (2002) mengasumsikan bahwa berat serasah yang hilang terjadi secara eksponensial dengan persamaan :

Wt = Wo e-kt
       Keterangan :
       Wt       : berat kering pada waktu t
       Wo      : berat kering serasah sebelum penelitian dimulai
       k          : konstanta laju dekomposisi

Perhitungan karbon dan bahan organik mati dari serasah, kayu mati dan pohon mati adalah sebagai berikut :
                   Cm = Bo x %C organik
       Keterangan :
       Cm                  : kandungan bahan organic mati (kg)
       Bo                   : total biomassa (kg)
%C organik     : nilai persentase kandungan karbon (0,47) atau menggunakan nilai persen karbon yang diperoleh dari hasil pengukuran di laboratorium           










III. EVALUASI HASIL KERJA
3.1 Deskripsi Umum Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Jawa Barat
Sejarah Pusat Penelitian Biologi (P2B) dapat ditarik kembali semenjak era kolonial sekitar tahun 1800-an. Pada 1834 Raffles, Gubernur Jawa, mendirikan kebun raya di Bogor, yang kemudian dikembangkan menjadi stasiun penelitian bernama Land Plantentuin. Stasiun ini mengakomodasi seluruh pekerjaan di bidang taksonomi maupun hewan, dan ribuan kehidupan liar Indonesia kemudian diberi nama ilmiah.
Seiring dengan perkembangan, penelitian juga memberi perhatian terhadap perkembangan ilmu serangga (entomologi) sejalan dengan kenyataan bahwa pada waktu itu serangga merupakan hama utama bagi pertanian. Hal  tersebut memberi jalan bagi berdirinya Museum Zoologicum Bogoriense atau Museum Biologi Bogor 1894.
Seiring berjalannya waktu, hasil-hasil penelitian mendominasi forum ilmiah internasional, institusi ini menjadi semakin kuat lagi. Oleh karena lembaga ini sangat berarti bagi dunia ilmiah internasional, lembaga ini tidak terpengaruh oleh perang yang berkecamuk selama awal abad ke-20. Sampai Indonesia memperoleh kemerdekaannya, lembaga tersebut selalu terbebas dari pengaruh kondisi politik maupun kekacauan sosial.
Pada masa setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengubah nama Land Plantentuin menjadi Lembaga Hortus Botanicus Pusat (LHBP), atau Kebun Raya Indonesia (KRI), atau Kebun Raya Bogor (KRB). Lembaga ini berada di bawah administrasi Jawatan Penelitian Alam (LPPA) di bawah Departemen Pertanian.
Pada tahun 1962 berdasarkan dekrit MPR No. II, 1960, Kebun Raya Bogor dan LPPA itu sendiri dipisahkan dari Departemen Pertanian dan diganti namanya menjadi Lembaga Biologi Nasional (LBN) di bawah administrasi Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI), yang kemudian berganti nama menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan dekrit presiden No.1, 1986 tentang reorganisasi LIPI, nama Lembaga Biologi Nasional diganti menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi yang diikuti dengan didirikannya dua lembaga baru yaitu Puslitbang Bioteknologi dan Puslitbang Limnologi.
Berdasarkan keputusan kepala LIPI No. 23/kep/D.5/1987 P2 Biologi ditugaskan untuk melakukan penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu biologi, memperbaiki kemampuan komunitas ilmiah, dan mengembangkan jasa-jasa dan distribusi informasi biologi dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap keragaman biologi Indonesia.
a.      Visi dan Misi Puslit Biologi
VISI:
1. Menjadi pusat acuan terpercaya bidang pemberdayaan dan konservasi aset keanekaragaman hayati Indonesia.
MISI:
1. Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memberdayakan dan melestarikan aset keanekaragaman hayati Indonesia agar menjadi pendorong utama dalam pembangunan berkelanjutan bangsa yang berwajah kemanusiaan.
2. Ikut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tersedianya peneliti yang professional, teknisi yang andal, dan staf pendukung penelitian yang mumpuni serta prasarana dan sarana yang terakreditasi, sehingga mampu menjadi “center of excellence” dalam bidang konservasi dan pengungkapan potensi sumberdaya hayati Indonesia.
3. Memperkuat kerjasama dan membentuk jaringan diantara pemangku kepentingan yang bergerak dalam isu keanekaragaman hayati, ekosistem, dan lingkungan agar masyarakat Indonesia menjadi peduli, berdaya, mandiri, cerdas dalam memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayatinya.
4. Meningkatkan peran serta masyarakat dan sektor swasta serta mendorong otonomi daerah dalam menggali dan memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya secara optimum, lebih adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan yang bertanggung jawab dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5. Memberikan landasan ilmiah untuk pengambilan kebijakan serta tersususn dan tegaknya supremasi hukum terutama undang-undang yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hayati dan nir-hayati serta lingkungan, merancang dan mematuhi peraturan pemerintah pusat dan daerah terutama rencana dan tata ruang wilayah, serta menghormati kearifan masyarakat adat dan tradisional untuk memperkokoh persatuan bangsa sekaligus memperluas daya saing masyarakat.
b.      Fungsi dan Tugas Puslit Biologi
Fungsi Penelitian Biologi adalah sebagai berikut:
1.      Penyiapan bahan perumusan kebijakan penelitian bidang biologi
2.      Penyusunan pedoman, pembinaan dan pemberian bimbingan teknis penelitian bidang biologi
3.      Penyusunan rencana, program, dan pelaksanaan penelitian bidang biologi
4.      Pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi bidang biologi
5.      Evaluasi dan penyusunan laporan penelitian bidang biologi
6.      Pelaksanaan urusan tata usaha
Selain tugas pokok tersebut, Pusat Penelitian Biologi LIPI ditunjuk sebagai Pelaksana Harian Otoritas Keilmuan (Scientific Authority) berdasarkan Surat Keputusan Kepala LIPI No. 1973/2002, dalam rangka konservasi tumbuhan dan satwa liar serta dalam rangka pelaksanaan CITES ( Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora ) di Indonesia.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, saat ini Pusat Penelitian Biologi membawahi satu bagian tata usaha dan empat bidang, yaitu Bidang Botani, Bidang Zoologi, Bidang Mikrobiologi, dan Bidang Sarana dan Pengelolaan Koleksi.
Gambar 1. Puslit Biologi LIPI
c.       Struktur Organisasi Pusat Penelitian Biologi LIPI
Gambar 2. Struktur Organisai LIPI
3.2 ECOPARK LIPI Cibinong
Gambar 3. Ecopark LIPI Cibinong
a.      Awal Pendirian
Nota dinas Deputi IPH dan memo Kepala PKT KRB, LIPI Nota Dinas Deputi IPH LIPI no. 20/IPH/KU.08/1102 tanggal 21 November 2002, perihal penunjukkan staf sebagai penyusun proposal anggaran tambahan TA 2003. Proposal yang harus segera disusun berjudul Pengembangan Area Eksibisi Hasil Riset: “Pembangunan Kebun Ekologi sebagai Aset Pendidikan Kesadaran Lingkungan”.
b.      Tujuan Ecopark Cibinong Science Center, LIPI
·         Membangun kawasan konservasi ek situ, perluasan Kebun Raya Bogor
·         Meningkatkan kualitas lingkungan hidup Cibinong Science Center
·         Sebagai tapak penelitian dan pendidikan lingkungan
·         Menjadi acuan contoh tipe vegetasi lowland berdasarkan ecoregion di Indonesia
c.       Tahapan Pembangunan 2003-2010
·         2003 Penyusunan masterplan tahap 1 seluas 7,5 ha
·         2004 Sosialisai masterplan kepada pimpinan LIPI, memulai pembangunan fisik dan penanaman perdana
·         2005 Penyusunan masterplan tahap 2 seluas 30 ha, pembentukan tim ahli Ecopark oleh Kepala PKT KRB
·         2006 Pembangunan komplek rumah kebun dan pembibitan
·         2007 Penyelenggaraan kegiatan public awareness
·         2008 Pengamatan pertumbuhan bibit koleksi
·         2009 Membangun kerjasama
·         2010 Penataan kelembagaan (menjadi wilayah III KRB)
d.      Konsep Penanaman di Ecopark
Ecopark merupakan perluasan Kebun Raya Bogor yang penanamannya berdasarkan 7 Ecoregion Indonesia, yaitu Sumatra, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa tenggara dan Papua.
e.       Pengembangan Ecopark
·         Ecopark sebagai inti pembangunan Green Campus Cibinong Science Center, LIPI
·         Strategi penyempurnaan penanaman Ecopark sehingga menjadi acuan contoh tipe vegetasi lowland berdasarkan ecoregion di Indonesia
·         Ecopark sebagai tempat pelatihan bagi SDM Kebun Raya Daerah
3.3 Pengukuran C/N Serasah di Ecopark Segmen Jawa Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong
a.      Produksi Serasah
Serasah merupakan lapisan yang terdiri dari bagian tumbuhan telah mati seperti guguran daun, ranting, cabang, bunga, kulit kayu, serta bagian lain yang menyebar dipermukaan tanah di bawah hutan sebelum bahan-bahan tersebut mengalami dekomposisi (Dephut, 1997). Serasah berfungsi sebagai penyimpanan air sementara yang secara berangsur akan melepaskannya ke tanah bersama dengan bahan organik berbentuk zat hara yang larut, memperbaiki struktur tanah dan menaikkan kapasitas penyerapan (Arief,1994).
Serasah adalah lapisan teratas dari permukaan tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan. Serasah yang jatuh dipermukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan mengurangi penguapan. Tinggi rendahnya peranan serasah ini ditentukan oleh kualitas bahan organik tersebut. Semakin rendah kualitas bahan, semakin lama bahan itu lapuk, sehingga terjadi akumulasi serasah yang cukup tebal pada permukaan tanah hutan (Hairiah, 2005).
Produktivitas serasah di hutan hujan tropis adalah yang tertinggi dibanding dengan wilayah-wilayah lain (Tabel 1.). oleh karena itu produktivitas serasah yang tinggi, maka akan memberikan keuntungan bagi vegetasi untuk meningkatkan produktivitas karena tersedianya sumber hara yang banyak. Hal ini disebabkan karena serasah yang jatuh ke permukaan tanah tidak akan lama tertimbun di lantai hutan tetapi segera mengalami dekomposisi, sehingga dapat segera diserap kembali oleh tumbuhan. Barbour et al., 1987 dalam Wiharto, 2003 mengatakan bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembaban udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah.
Tabel 1. Laju Produktivitas Serasah di Berbagai Tipe Ekosistem Dunia (Jordan, 1971 dalam Wiharto, 2003)

Ekosistem
Lokasi
Produktivitas Serasah g/m/tahun
Hutan Hujan Tropis
Thailand
2322
Herba Parrenial
Jepang
1484
Hutan Iklim Sedang
Di beberapa lokasi
1200
Prairi
Amerika Serikat
520
Hutan Musim Tropis
Pantai Gading
440
Hutan Oak
Rusia
350
Taiga
Rusia
200-350
Savana Kering
Rusia
290

Serasah merupakan material organik yang mampu diuraikan oleh mikroorganisme dan organisme kecil lain. Material organik diuraikan oleh mikroorganisme karena berperan sebagai sumber energi dan makanan bagi mikroorganisme tersebut. Hasil penguraian oleh mikroorganisme akan berguna sebagai penyedia hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping sebagai sumber energi bagi mikroorganisme juga sebagai sumber hara bagi tanaman (Simanungkalit et al., 2006).
Serasah diuraikan oleh kompleks mikroorganisme, baik bakteri, jamur, lipan maupun kumbang tanah. Serasah diuraikan menjadi material anorganik untuk dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan. Dekomposisi serasah sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban udara, jumlah dan keragaman mikroorganisme serta kandungan kimia serasah.
Serasah dalam jumlah yang besar terdiri dari senyawa-senyawa organik, yang memiliki persentase yang relatif bervariasi pada setiap tanaman. Secara umum tegakan kayu keras lebih banyak mengembalikan hara mineral jika dibandingkan dengan tegakan konifer. Pada prinsipnya setiap bagian tanaman berbeda pula kandungan hara mineralnya sehingga serasah harus dikelompokkan antara batang, daun dan rantingnya. Serasah dari spesies tanaman bervariasi besar dalam kandungan hara dengan spesies dari tanah yang tidak subur umumnya akan menghasilkan serasah yang miskin ke dalam tanah. Menurut (Barbour et al., 1987 dalam Ristanto (2006)) bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembaban udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah. Osono dan Takeda (2006) menambahkan bahwa kecepatan dekomposisi serasah daun dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
1.      Tipe serasah
Kandungan senyawa yang terkandung di dalam serasah seperti kandungan lignin, selulosa dan karbohidratnya. Tipe serasah mempengaruhi kemampuan suatu mikroba untuk mendekomposisi senyawa-senyawa kompleks yang terkandung di dalam serasah, lignin lebih susah untuk didekomposisi, selanjutnya selilosa dan gula sederhana adalah senyawa berikutnya yang relatif cepat didekomposisi.
2.      Temperatur
Kecepatan dekomposisi tertinggi ditunjukan pada suhu 24o C. Suhu merupakan parameter fisika yang maempengaruhi sifat fisiologi mikroorganisme yang hidup di lingkungan tersebut. Setiap peningkatan suhu sebesar 10o C akan meningkatkan laju metabolisme organisme menjadi dua kali lipat, akan tetapi penambahan suhu maksimal dapat mematikan mikroorganisme pendegragasi serasah.
3.      Pengaruh pH
Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh pH, aktivitas selulase kapang berkisar anatara 4,6-6,5. Enzim pada umumnya hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas. Nilai pH optimum suatu enzim ditandai dengan menurunnya aktivitas yang disebabkan oleh turunnya afinitas atau stabilitas enzim. Pengaruh pH pada aktivitas enzim disebabkan oleh terjadinya perubahan tingkat ionisai pada enzim atau substrat sebagai akibat perubahan pH.
Perubahan jumlah produksi serasah tidak hanya disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda akan tetapi juga disebabkan oleh kualitas hutan atau tipe hutan, susunan/komposisi jenis yang mendominasi ekosistem hutan dan musim. Terdapat 3 lapisan dari lantai hutan yang biasanya ditemukan pada semua bagian tanah. Lapisan tersebut antara lain yaitu:
1.      Lapisan serasah atau L
Lapisan tersebut terdiri atas bagian tanaman yang sudah mati namun masih belum berubah bentuk atau masih dapat dikenali.
2.      Lapisan F
Lapisan tersebut berada di bawah lapisan serasah yang terbagi dalam beberapa bagian, bagian tersebut merupakan bahan organik yang telah terdekomposisi/ terurai namun masih dapat dikenali dari bentuk aslinya.
3.      Lapisan H
Lapisan tersebut merupakan lapisan di atas tanah mineral yang mengandung sebagian besar bahan organik yang telah terdekomposisi sempurna.
Produktivitas serasah penting diketahui dalam hubungannya dengan pemindahan energi dan unsur-unsur hara dari ekosistem hutan. Adanya suplai hara dari daun, ranting, dan batang yang banyak mengandung hara mineral akan dapat memperkaya tanah dengan membebaskan sejumlah mineral melalui dekomposisi (Darmanto, 2003). Studi tentang aspek kuantitatif jatuhan serasah akan berlangsung sebagai bagian penting dari ekologi hutan (Kusmana, 1993).
Menurut (Nasoetion, 1990 dalam Ristanto, 2006), serasah adalah lapisan teratas dari permukaan tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan. Tanaman memberikan masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang, dan rantingnya yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah mati. Serasah yang jatuh dipermukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan mengurangi penguapan. Produktivitas serasah yang tinggi akan memberikan keuntungan bagi vegetasi untuk meningkatkan produktivitas karena tersedianya sumber hara yang banyak.
Dari hasil perhitungan berat kering sampel pada 10 titik di segmen jawa terlihat bahwa produksi serasah total pada segmen tersebut sebesar 564,05 g/m2 atau sekitar 2,82 ton/0,5 ha.
Tabel 2. Rata-rata berat kering produksi serasah pada Segmen Jawa
Produksi Serasah Segmen Jawa
No.
Daun (g)
Batang (g)
Ranting (g)
g/0.25 m2
g/m2
ton/ha
t/0,5 ha
1
134,91
42,26
62,89
240,06
960,24
9,60
4,80
2
62,05
0,00
47,62
109,67
438,68
4,38
2,19
3
39,49
0,00
27,41
66,90
267,60
2,67
1,33
4
120,50
0,00
0,00
120,50
482,00
4,82
2,41
5
110,82
0,00
23,60
134,42
537,68
5,37
2,68
6
66,03
28,85
20,46
115,34
461,36
4,61
2,30
7
81,62
31,85
36,75
150,22
600,88
6,00
3,00
8
198,48
41,20
19,01
258,69
1034,76
10,34
5,17
9
84,41
34,15
25,38
143,94
575,76
5,75
2,87
10
56,37
6,53
7,50
70,40
281,6
2,81
1,40
Rerata
95,46
18,48
27,06
141,01
564,05
5,64
2,82

Produksi serasah total yang dihasilkan paling banyak berasal dari serasah daun yaitu sekitar 80% dari total atau rata-rata. Produksi serasah batang sekitar 5% dan produksi serasah dari ranting sekitar 15%. Perbedaan jumlah produksi serasah total disebabkan oleh kondisi ekologis, kerapatan pohon, serta umur tumbuhan yang berbeda. Segmen Jawa terletak di dekat danau yang mendapatkan pasokan air cukup baik dan pohon-pohon yang berada di segmen ini mempunyai luas tutupan kanopi yang besar, sehingga jumlah jatuhan serasah banyak.
Gambar 4. Berat Basah Total Serasah pada Segmen Jawa
Gambar 5. Berat Kering Total Serasah pada Segmen Jawa
Diversitas spesies pohon yang tinggi memberi masukan serasah yang beragam kecepatan pelapukannya yang akan menentukan tingkat penutupan permukaan tanah oleh serasah. Komposisi jenis tumbuhan pada Segmen Jawa berdasarkan penelitian sebelumnya terdapat 36 suku, 82 marga dan 101 jenis. Penutupan tanah penting untuk mengendalikan penguapan berlebihan pada saat kemarau, sehingga tanah tetap lembab dan kekeringan tidak terjadi secara berkepanjangan. Pada saat musim hujan serasah berperan penting dalam meningkatkan jumlah air yang masuk dalam tanah, mengurangi jumlah dan laju limpasan permukaan pada lahan berlereng.
Kualitas serasah yang beragam akan menentukan tingkat penutupan permukaan tanah oleh serasah. Kualitas serasah berkaitan dengan kecepatan pelapukan serasah (dekomposisi). Semakin lambat lapuk maka keberadaan serasah di permukaan tanah menjadi lebih lama. Parameter lingkungan yang di ukur sebagai data pendukung yaitu kelembaban dan suhu udara. Rata-rata suhu udara yang didapatkan 31,33 sedangkan kelembaban 70. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 3. Pengukuran Parameter Lingkungan
Waktu
Suhu
Kelembaban
Pagi
31
69
Siang
32
69
Sore
31
72

b.      Kandungan Nilai C/N
Biomassa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon (Sutaryo, 2009). Tanaman atau pohon di hutan berfungsi sebagai tempat penimbunan atau pengendapan karbon (CIFOR, 2003). Besarnya kandungan karbon dan biomassa pohon bervariasi bedasarkan bagian tumbuhan yang diukur, tingkatan tumbuhan dan kondisi lingkungannya.
Lapisan serasah atau lantai hutan merupakan seluruh bahan organik mati yang berada di atas permukaan. Beberapa material organik ini masih dapat dikenali atau masih sedikit terdekomposisi (Pearson dkk., 2005 dalam Yuanita, Windusari dkk, 2012). Mikroorganisme tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan organik tanah dan sebagai produk akhir dari proses ini adalah pelepasan CO2 (Barchia, 2009). Oleh karena itu mengukur jumlah karbon dalam biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang di serap oleh tanaman, dan pengukuran karbon dalam bagian tanaman yang telah mati (nekromassa) dapat menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara melalui pembakaran. Laju dekomposisi sisa tanaman juga dipengaruhi oleh kandungan nitrogen dalam jaringan tanaman.
Analisis kandungan C/N dari sampel serasah dilakukan untuk mendapatkan informasi tambahan mengenai siklus hara yang terjadi pada Segmen Jawa. Hasil yang didapatkan dari pengukuran C/N sampel serasah pada Segmen Jawa memiliki peresentase rata-rata sebesar 12,64 persen.
Tabel 4. Kandungan Unsur C/N pada Sampel Serasah Segmen Jawa
No.
C %
N %
C/N
1
42,92
3,40
12,58
2
42,52
3,35
12,66
3
41,43
3,41
12,12
4
45,01
3,54
12,68
5
41,51
3,37
12,28
6
44,10
3,74
11,77
7
38,37
3,51
10,90
8
40,75
3,41
11,93
9
38,72
3,22
12,00
10
37,73
2,59
14,56
11
37,67
3,43
10,95
12
37,23
2,87
12,95
13
37,79
0,00
0,00
14
35,49
2,61
13,56
15
37,11
3,24
11,44
16
39,42
3,03
12,97
17
38,86
2,86
13,55
18
38,23
3,06
12,47
19
40,67
2,75
14,78
20
36,98
2,65
13,90
Rerata
39,62
3,00
12,64
SD
2,60
0,78
1,08
SE
0,58
0,17
0,24

Serasah merupakan salah satu komponen di dalam hutan yang juga dapat menyimpan karbon. Serasah didefinisikan sebagai bahan organik mati yang berada di atas tanah/lantai hutan [Sutaryo, 2009 dalam Yuanita Windusari dkk, (2012)]. Pada tumbuhan bawah, kandungan karbon dan biomassanya dipengaruhi oleh komposisi vegetasi tumbuhan bawah penyusunnya. Demikian juga halnya dengan kandungan karbon dan biomassa pada serasah yang dipengaruhi oleh komponen-komponen penyusunnya, seperti kayu busuk, daun dan ranting (Asril, 2009).
Gambar 6. Kandungan Karbon dari Serasah Daun
Gambar 7. Kandungan Karbon dari Serasah Ranting
Gambar 8. Kandungan Karbon dari Serasah Batang
Barchia (2009) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi adalah pengolahan tanah, temperatur, kelembaban tanah, pH, kedalaman dan aerasi tanah. Mikroorganisme tanah berperan besar dalam dekomposisi bahan organik tanah dan pelepasan CO2. Kehilangan bahan organik akibat dekomposisi diimbangi oleh adanya suplai bahan organik dari vegetasi penutup yang terbentuk dari resintesis akar, serasah, dan bagian lain tumbuhan yang mengalami pelapukan.
Aktivitas mikroorganisme heterotrop sangat tinggi pada wilayah hutan tropis basah, sehingga laju pelepasan karbon di wilayah ini cenderung tinggi. Semua karakteristik tanah seperti pH, temperatur, potensial air, struktur tanah dan aerasi akan mempengaruhi dekomposisi bahan organik (Barchia, 2009).
Tipe vegetasi mengandung keragaman struktur senyawa-senyawa penyusunnya, sehingga kualitas sisa tanamannya akan mempengaruhi tingkat stabilitas dari bahan organik dan berkaitan dengan rasio CN. Perbandingan CN sangat menentukan mineralisasi atau immobilisasi nitrogen dalam sel mikroorganisme. Rasio CN pada hutan lebih tinggi dari pada lahan hutan yang diubah menjadi agroekosistem dan mencerminkan kualitas substrat.
Iklim sangat berperan dalam laju dekomposisi bahan organik, meningkatnya temperature dan kelembaban menyebabkan proses dekomposisi berlangsung cepat. Hal ini menyebabkan akumulasi bahan organik di tanah tropis sanagt jarang akibat iklim optimum bagi aktivitas mikroorganisme untuk melakukan dekomposisi bahan organik.
Yuniar, 2002 dalam Barchia (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi adalah curah hujan, temperatur, pH, dan kandungan liat tanah. Faktor pembentuk tanah yang mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik adalah iklim, vegetasi, topografi, bahan induk, dan umur tanaman. Vegetasi akan memproduksi biomassa dan sisa biomassa menjadi sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah.
Menurut Indriyanto (2006) dalam Asril (2008), pada setiap ekosistem jumlah karbon tersimpan berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh perbedaan keanekaragaman dan kompleksitas komponen yang menyusun ekosistem. Kompleksitas ekosistem akan berpengaruh kepada cepat atau lambatnya siklus karbon yang melalui setiap komponennya.
Cadangan karbon dalam biomassa bahan mati juga berguna untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah. Nilai potensi rata-rata karbon pada serasah berkisar 3,15-6,24 tonC/ha. Komponen biomassa yang memiliki kandungan karbon terbesar terdapat pada serasah (Van Noordwjik et al., 2002; Ojo, 2003 dan Triantomo, 2005 dalam Yudhistira, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 1994. Hutan Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Asril. 2009. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah Rawa Gambut di Stasiun Penelitian Suaq Balimbing Kabupaten Aceh Selatan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Barchia, M. F. 2009. Evolusi Karbon Tanah. Artikel Surat Kabar Kompas.
BSN. 2011. Pengukuran dan Perhitungan Cadangan Karbon-Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan (Ground Based Forest Carbon Accounting). Jakarta: BSN.
Chairul, M. S. dan Erizal, M. 2009. Rehabilitasi Hutan Hujan Tropis Dataran Rendah Melalui Interaksi Tumbuhan dengan Jatuhan Serasah dan Dekomposisi Daunnya. Padang: Universitas Andalas.
CIFOR. 2003. Perdagangan Karbon. Warta Kebijakan No. 8 Februari 2003.
Darmanto, D. 2003. Produktivitas dan Model Pendugaan Dekomposisi Serasah Tegakan Agathis (Agathis lorantifolia Salisb), Puspa (Schima Wallichii D.C Korth) dan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese). Skripsi. Fakultas Kehutanan. IPB.
Dephut. 1997. Ensiklopedia Kehutanan Indonesia. Ed ke-1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Go, L. B. and Sim, R. E. H. 2001. Effects of Light, Temperature, water and meatwork effluent irrigation on eucalypt leaf litter decomposition under controlled environmental conditions. Applied Soil Ecology. 17: 229-237.
Hairiah. 2005. Neraca Hara dan Karbon dalam Sistem Agroforesti. 7 Mei 2005.
Kusmana. 1993. A Study on Mangrove Forest Management based on Ecological Data in East Sumatera Indonesia.
Mahmudi, M. 2010. Estimasi Produksi Ikan Melalui Nutrien Searasah daun Mangrove di Kawasan Reboisasi Rhizophora, Nguling, pasuruan Jawa Timur. Malang: Universitas Brawijaya.
Murayama, S. and Zahari, A. B. 1992. Biochemical Decomposition of Tropical Forest. In  Proceeding of the International Symposium on Tropical Peatland. Kuching. Sarawak, Malaysia.
Nasoetion, A. H. 1990. Pengantar ke Ilmu-Ilmu Pertanian. Untuk Mahasiswa Baru. IPB.
Raharjoe, R. 2006. Studi terhadap Produktivitas Serasah, Dekomposisi Serasah, Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang serta Leaching pada Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus, di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Skripsi: IPB.
Regina, I. s. and Tarazona, T. 2001. Nutrient Pools to the Soil Through Organic Matter and Through Fall Under a Scot Pine Plantation in the Sierra de la Demada, Spain. European Journal of Soil Biology. 37: 125-133.
Salisbury. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid-3. Bandung: ITB Press.
Saetre, P. 1998. Decomposition, Microbial Community Strusture and Earthworm Effects Along a Birch-spure Soil Gradient. Ecology.
Simanungkalit, R. D. M. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Besar LitBang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Breemen, V.  N. 1995. Nutrient Cycling Strategis. Plant and Soil.
Wiharto, M. 2003. Produktivitas Vegetasi Hutan Hujan Tropis. http://naturehealthy.webs.com/produktivitas_hht.pdf.
Windusari, Yuanita dkk. 2012. Dugaan Cadangan Karbon Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah di Kawasan Suksesi Alami pada Area Pengendapan Tailing PT Freeport Indonesia. Palembang.
Yudhistira. 2006. Potensi dan Keragaman Cadangan Karbon Hutan Rakyat dengan Pola Agroforestri: Kasus di Desa Kertayasa Kecamatan Panawangan Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Zamroni dan Yuliadi. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi Lombok Barat. Mataram: Universitas Mataram.