PENGUKURAN C/N SERASAH DI
ECOPARK SEGMEN JAWA
PUSAT PENELITIAN BIOLOGI
LIPI CIBINONG
I.
PENDAHULUAN
Hutan memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena
memiliki jenis-jenis kayu perdagangan yang berkualiatas tinggi. Di sisi lain
hutan adalah penghasil bahan-bahan organik atau hara secara terus menerus.
Dengan adanya sifat hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman yang tinggi,
maka dianggap bahwa hutan tropika itu
kaya dan subur. Namun sebenarnya hutan tropis mempunyai tanah yang miskin akan
unsur hara.
Hutan hujan tropis adalah ekosistem
dengan laju dekomposisi serasah tercepat dibandingkan ekosistem lainnya.
Menurut Wiharto (2003) hal ini disebabkan karena serasah yang jatuh ke
permukaan tanah tidak akan lama tertimbun di lantai hutan tetapi segera
mengalami dekomposisi, sehingga dapat segera diserap kembali oleh tumbuhan.
Laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem
lainnya, laju ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kelembaban udara,
organisme flora dan fauna mikro, serta kandungan kimia dari serasah (Barbour et al., 1987 dalam Wiharto, 2003).
Secara kuantitas, tebal tipisnya tanah
hutan dan tersedianya unsure hara dalam tanah ditentukan oleh jumlah gugur
serasah vegetasi penutupnya. Faktor-faktor yang menentukan jumlah gugur serasah
dalam hutan adalah tipe vegetasi, kondisi lingkungan seperti suhu dan curah
hujan. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa jumlah guguran serasah
didaerah tropika lebih banyak dari hutan temperate.
Serasah yang gugur ke lantai hutan
akan mengalami perubahan, baik karena tekanan fisik maupun aktivitas biologis.
Akibatnya terjadi penghancuran, penguraian dan perubahan susunan yang disebut
dekomposisi. Peristiwa jatuhnya serasah dan dekomposisi merupakan dua peristiwa
yang terjadi di luar organ tumbuhan, yaitu terlepasnya organ tumbuhan dari
bagian yang hidup serta berubahnya bahan organik menjadi unsur hara dan mineral. Walaupun demikian, kedua
peristiwa tersebut penting bagi ekosistem, yaitu sebagai masukan dan luaran bagi tanah dan berperan penting dalam siklus
hara dan aliran energi di alam.
Bahan serasah yang mempunyai nisbah
C/N yang tinggi lebih sulit terdekomposisi dibandingkan dengan bahan serasah
yang mempunyai nisbah C/N rendah (Murayama & Zahari, 1992). Serasah yang
berada pada daerah yang mempunyai jumlah mikroorganisme yang lebih banyak
cenderung lebih cepat terdekomposisi dibandingkan dengan daerah yang mempunyai
jumlah mikroorganisme sedikit (Saetre, 1998). Pada umumnya, serasah dari
tumbuhan yang hidup di lingkungan yang miskin unsur hara lebih sulit
terdekomposisi dan akan menyebabkan lambatnya siklus hara pada lingkungan
tersebut dibandingkan serasah yang berasal dari tumbuhan yang hidup pada
lingkungan yang kaya hara (Breemen, 1995).
Produksi serasah merupakan bagian
yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah.
Analisis dari komposisi hara dalam produksi serasah dapat menunjukkan hara yang
membatasi dan efisiensi dari nutrisi yang digunakan, sehingga siklus nutrisi
dalam suatu ekosistem akan terpelihara (Vitousek, 1982; Rahajoe et al., 2004 dalam Mahmudi, 2010).
Pusat Penelitian
Biologi LIPI Cibinong terletak di JL. Raya Jakarta - Bogor Km.46 Cibinong 16911
Bogor – Indonesia. Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong mempunyai visi dan
misi. Visinya yaitu menjadi pusat acuan terpercaya bidang pemberdayaan dan
konservasi aset keanekaragaman hayati Indonesia, sedangkan misinya yaitu :
1. Menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memberdayakan dan melestarikan aset
keanekaragaman hayati Indonesia agar menjadi pendorong utama dalam pembangunan
berkelanjutan bangsa yang berwajah kemanusiaan;
2. Ikut
serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tersedianya peneliti
yang professional, teknisi yang andal, dan staf pendukung penelitian yang
mumpuni serta prasarana dan sarana yang terakreditasi, sehingga mampu menjadi center
of excellence dalam bidang konservasi dan pengungkapan potensi sumberdaya
hayati Indonesia;
3. Memperkuat
kerjasama dan membentuk jaringan diantara pemangku kepentingan yang bergerak
dalam isu keanekaragaman hayati, ekosistem, dan lingkungan agar masyarakat
Indonesia menjadi peduli, berdaya, mandiri, cerdas dalam memanfaatkan dan
melestarikan keanekaragaman hayatinya;
4. Meningkatkan
peran serta masyarakat dan sektor swasta serta mendorong otonomi daerah dalam
menggali dan memanfaatkan potensi sumber daya alamnya secara optimum, lebih
adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan yang bertanggung jawab dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
5. Memberikan
landasan ilmiah untuk pengambilan kebijakan serta tersusun dan tegaknya
supermasi hukum terutama undang-undang yang terkait dengan pengelolaan
sumberdaya hayati dan nir-hayati serta lingkungan, merancang dan mematuhi
peraturan pemerintah pusat dan daerah terutama rencana dan tata ruang wilayah,
serta menghormati kearifan masyarakat adat dan tradisional untuk memperkokoh
persatuan bangsa sekaligus memperluas daya saing masyarakat.
Tujuan dari Praktek Kerja Lapangan ini adalah
untuk mengukur jumlah C/N yang
tertimbun dalam serasah yang ada di ” Ecopark Segmen Jawa ”
Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Manfaat Praktek Kerja Lapangan ini diharapkan dapat
mengetahui dan memahami teknik pengukuran C/N pada serasah di ”Ecopark
Segmen Jawa ” Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong.
II. MATERI DAN CARA KERJA
1. Materi, Lokasi dan Waktu Praktek Kerja
Lapangan
1.1 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam Praktek Kerja
Lapangan mengenai “Pengukuran C/N Serasah di Ecopark Segmen Jawa Pusat
Penelitian Biologi LIPI Cibinong ” adalah kamera digital, kertas, alat tulis, kuadran berukuran 50 x 50 cm, plastik seal, gunting, blender, saringan dengan
ukuran lubang 0,6 mm, meteran gulung 50
m, C/N Coder, kuas, koran, kertas
semen, spatula, timbangan, oven,
Hippuric acid dan tali rafia.
1.2 Lokasi dan Waktu Praktek Kerja
Lapangan
Praktek Kerja Lapangan ini dilaksanakan selama 10 hari,
dimulai tanggal 28 Januari – 8 Februari 2013 di Ecopark Segmen Jawa, Laboratorium Ekologi
Tanah dan Serasah Pusat Penelitian
Biologi LIPI Cibinong.
2. Cara Kerja
a.
Melakukan observasi terlebih dahulu di Ecopark Segmen Jawa Pusat Penelitian Biologi
LIPI Cibinong
b.
Membagi
daerah tersebut menjadi plot atau petak 50 x 100 m berbentuk persegi (kotak)
c.
Plot
atau petak tersebut dibagi menjadi 50 sub petak berukuran 10 x 10 m
A10
|
A9
|
A8
|
A7
|
A6
|
A5
|
A4
|
A3
|
A2
|
A1
|
B10
|
B9
|
B8
|
B7
|
B6
|
B5
|
B4
|
B3
|
B2
|
B1
|
C10
|
C9
|
C8
|
C7
|
C6
|
C5
|
C4
|
C3
|
C2
|
C1
|
D10
|
D9
|
D8
|
D7
|
D6
|
D5
|
D4
|
D3
|
D2
|
D1
|
E10
|
E9
|
E8
|
E7
|
E6
|
E5
|
E4
|
E3
|
E2
|
E1
|
d.
Mengambil
sampel serasah pada 10 titik secara acak dengan dua kali pengulangan dari 50
sub petak menggunakan kuadran berukuran 50 x 50 cm
e.
Serasah
diambil dan dimasukan ke dalam plastik seal
serta dipisahkan antara daun, batang dan rantingnya
f.
Berat
basah serasah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam Koran dan di oven selama ±
3 hari pada suhu 700C
g. Berat kering serasah ditimbang
h. Serasah yang sudah ditimbang berat keringnya
kemudian dihaluskan menggunakan blender dan disaring agar mendapatkan bubuk
yang lebih lembut
i. Melakukan analisis karbon dan nitrogen di
laboratorium untuk melihat kandungan karbonnya menggunakan C/N Coder
j. Menganalisa data yang telah didapat
Komponen serasah yang telah dipisahkan atas :
daun, ranting, dan batang ditimbang. Jumlah produksi serasah dapat diketahui
dengan menjumlahkan berat kering serasah yang terkumpul dalam suatu periode
tertentu. Satuan yang digunakan adalah g/m/waktu
atau ton/ha/tahun. Kemudian dihitung persen kadar air menggunakan persamaan :
%KA = ((BBc – BKc) / BKc) x 100%
Persen KA yang diperoleh digunakan untuk
menghitung BK total plot per kelas umur dengan persamaan sebagai berikut :
BK = (BB/ (1 + %KA))
Keterangan
:
BK : Berat Kering
BB : Berat Basah
%KA : Persen Kadar Air
BBc : Berat Basah contoh
BKc : Berat Kering contoh
Berat kering total plot dikonversi ke dalam
satuan biomassa tumbuhan bawah (ton/ha). Hasil karbon merupakan 46% dari
biomassa.
Berkurangnya berat serasah dan pelepasan hara
dihitung dengan cara yang sama dengan yang dilakukan oleh Guo & Sims (1999)
dan Guo & Sims (2001) :
L % =
100 (Wo – Wt) / Wo
R % = 100 (WoCo – WtCt) / WoCo
Keteranagan
:
L : hilangnya berat serasah
Wo
: berat serasah sebelum penelitian
dimulai
Wt
: berat kering serasah yang
tertinggal setelah waktu t
R : hara yang terlepas
Co
: konsentrasi hara (mg kg-1)
pada serasah awal
Ct
: konsentrasi hara (mg kg-1)
pada serasah yang masih tertinggal
Kebanyakan peneliti yang melakukan penelitian
tentang dekomposisi, seperti Guo & Sims (1999); Regina &Tarazona
(2001); Ribero et al (2002); dan
Rogers (2002) mengasumsikan bahwa berat serasah yang hilang terjadi secara
eksponensial dengan persamaan :
Wt = Wo
e-kt
Keterangan
:
Wt
: berat kering pada waktu t
Wo : berat kering serasah sebelum penelitian
dimulai
k : konstanta laju dekomposisi
Perhitungan karbon dan bahan organik mati dari
serasah, kayu mati dan pohon mati adalah sebagai berikut :
Cm
= Bo x %C organik
Keterangan
:
Cm
: kandungan bahan organic
mati (kg)
Bo : total biomassa (kg)
%C organik :
nilai persentase kandungan karbon (0,47) atau menggunakan nilai persen karbon
yang diperoleh dari hasil pengukuran di laboratorium
III. EVALUASI HASIL KERJA
3.1 Deskripsi Umum
Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong,
Jawa Barat
Sejarah
Pusat Penelitian Biologi (P2B) dapat ditarik kembali semenjak era kolonial
sekitar tahun 1800-an. Pada 1834 Raffles, Gubernur Jawa, mendirikan kebun raya
di Bogor, yang kemudian dikembangkan menjadi stasiun penelitian bernama Land
Plantentuin. Stasiun ini mengakomodasi seluruh pekerjaan di bidang taksonomi
maupun hewan, dan ribuan kehidupan liar Indonesia kemudian diberi nama ilmiah.
Seiring
dengan perkembangan, penelitian juga memberi perhatian terhadap perkembangan
ilmu serangga (entomologi) sejalan dengan kenyataan bahwa pada waktu itu
serangga merupakan hama utama bagi pertanian. Hal tersebut memberi jalan bagi berdirinya Museum
Zoologicum Bogoriense atau Museum Biologi Bogor 1894.
Seiring
berjalannya waktu, hasil-hasil penelitian mendominasi forum ilmiah
internasional, institusi ini menjadi semakin kuat lagi. Oleh karena lembaga ini
sangat berarti bagi dunia ilmiah internasional, lembaga ini tidak terpengaruh
oleh perang yang berkecamuk selama awal abad ke-20. Sampai Indonesia memperoleh
kemerdekaannya, lembaga tersebut selalu terbebas dari pengaruh kondisi politik
maupun kekacauan sosial.
Pada
masa setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengubah nama Land Plantentuin
menjadi Lembaga Hortus Botanicus Pusat (LHBP), atau Kebun Raya Indonesia (KRI),
atau Kebun Raya Bogor (KRB). Lembaga ini berada di bawah administrasi Jawatan
Penelitian Alam (LPPA) di bawah Departemen Pertanian.
Pada
tahun 1962 berdasarkan dekrit MPR No. II, 1960, Kebun Raya Bogor dan LPPA itu
sendiri dipisahkan dari Departemen Pertanian dan diganti namanya menjadi
Lembaga Biologi Nasional (LBN) di bawah administrasi Madjelis Ilmu Pengetahuan
Indonesia (MIPI), yang kemudian berganti nama menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI).
Dalam
perkembangan selanjutnya berdasarkan dekrit presiden No.1, 1986 tentang
reorganisasi LIPI, nama Lembaga Biologi Nasional diganti menjadi Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi yang diikuti dengan didirikannya dua
lembaga baru yaitu Puslitbang Bioteknologi dan Puslitbang Limnologi.
Berdasarkan
keputusan kepala LIPI No. 23/kep/D.5/1987 P2 Biologi ditugaskan untuk melakukan
penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu biologi, memperbaiki kemampuan komunitas
ilmiah, dan mengembangkan jasa-jasa dan distribusi informasi biologi dalam
upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap keragaman biologi
Indonesia.
a. Visi dan Misi Puslit Biologi
VISI:
1. Menjadi pusat acuan terpercaya bidang
pemberdayaan dan konservasi aset keanekaragaman hayati Indonesia.
MISI:
1. Menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam memberdayakan dan melestarikan aset keanekaragaman hayati
Indonesia agar menjadi pendorong utama dalam pembangunan berkelanjutan bangsa
yang berwajah kemanusiaan.
2. Ikut serta dalam usaha mencerdaskan
kehidupan bangsa melalui tersedianya peneliti yang professional, teknisi yang
andal, dan staf pendukung penelitian yang mumpuni serta prasarana dan sarana
yang terakreditasi, sehingga mampu menjadi “center of excellence” dalam bidang
konservasi dan pengungkapan potensi sumberdaya hayati Indonesia.
3. Memperkuat kerjasama dan membentuk
jaringan diantara pemangku kepentingan yang bergerak dalam isu keanekaragaman
hayati, ekosistem, dan lingkungan agar masyarakat Indonesia menjadi peduli,
berdaya, mandiri, cerdas dalam memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman
hayatinya.
4. Meningkatkan peran serta masyarakat
dan sektor swasta serta mendorong otonomi daerah dalam menggali dan
memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya secara optimum, lebih adil dan
berkelanjutan melalui pengelolaan yang bertanggung jawab dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5. Memberikan landasan ilmiah untuk
pengambilan kebijakan serta tersususn dan tegaknya supremasi hukum terutama
undang-undang yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hayati dan nir-hayati
serta lingkungan, merancang dan mematuhi peraturan pemerintah pusat dan daerah
terutama rencana dan tata ruang wilayah, serta menghormati kearifan masyarakat
adat dan tradisional untuk memperkokoh persatuan bangsa sekaligus memperluas
daya saing masyarakat.
b. Fungsi dan Tugas Puslit Biologi
Fungsi
Penelitian Biologi adalah sebagai berikut:
1. Penyiapan
bahan perumusan kebijakan penelitian bidang biologi
2. Penyusunan
pedoman, pembinaan dan pemberian bimbingan teknis penelitian bidang biologi
3. Penyusunan
rencana, program, dan pelaksanaan penelitian bidang biologi
4. Pelayanan
jasa ilmu pengetahuan dan teknologi bidang biologi
5. Evaluasi
dan penyusunan laporan penelitian bidang biologi
6.
Pelaksanaan urusan tata usaha
Selain tugas
pokok tersebut, Pusat Penelitian Biologi LIPI ditunjuk sebagai Pelaksana Harian
Otoritas Keilmuan (Scientific Authority)
berdasarkan Surat Keputusan Kepala LIPI No. 1973/2002, dalam rangka konservasi
tumbuhan dan satwa liar serta dalam rangka pelaksanaan CITES ( Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora ) di
Indonesia.
Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, saat ini Pusat Penelitian Biologi membawahi
satu bagian tata usaha dan empat bidang, yaitu Bidang Botani, Bidang Zoologi,
Bidang Mikrobiologi, dan Bidang Sarana dan Pengelolaan Koleksi.
Gambar 1. Puslit Biologi LIPI
c. Struktur Organisasi Pusat
Penelitian Biologi LIPI
Gambar 2. Struktur Organisai LIPI
3.2
ECOPARK LIPI Cibinong
Gambar 3. Ecopark LIPI Cibinong
a. Awal Pendirian
Nota dinas Deputi IPH dan memo Kepala PKT KRB, LIPI
Nota Dinas Deputi IPH LIPI no. 20/IPH/KU.08/1102 tanggal 21 November 2002,
perihal penunjukkan staf sebagai penyusun proposal anggaran tambahan TA 2003.
Proposal yang harus segera disusun berjudul Pengembangan Area Eksibisi Hasil
Riset: “Pembangunan Kebun Ekologi sebagai Aset Pendidikan Kesadaran
Lingkungan”.
b.
Tujuan
Ecopark Cibinong Science Center, LIPI
·
Membangun kawasan konservasi ek situ,
perluasan Kebun Raya Bogor
·
Meningkatkan kualitas lingkungan hidup
Cibinong Science Center
·
Sebagai tapak penelitian dan pendidikan
lingkungan
·
Menjadi acuan contoh tipe vegetasi
lowland berdasarkan ecoregion di Indonesia
c.
Tahapan
Pembangunan 2003-2010
·
2003 Penyusunan masterplan tahap 1
seluas 7,5 ha
·
2004 Sosialisai masterplan kepada
pimpinan LIPI, memulai pembangunan fisik dan penanaman perdana
·
2005 Penyusunan masterplan tahap 2
seluas 30 ha, pembentukan tim ahli Ecopark oleh Kepala PKT KRB
·
2006 Pembangunan komplek rumah kebun dan
pembibitan
·
2007 Penyelenggaraan kegiatan public
awareness
·
2008 Pengamatan pertumbuhan bibit
koleksi
·
2009 Membangun kerjasama
·
2010 Penataan kelembagaan (menjadi
wilayah III KRB)
d. Konsep Penanaman di Ecopark
Ecopark merupakan perluasan Kebun Raya Bogor yang
penanamannya berdasarkan 7 Ecoregion Indonesia, yaitu Sumatra, Jawa-Bali,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa tenggara dan Papua.
e.
Pengembangan
Ecopark
·
Ecopark sebagai inti pembangunan Green
Campus Cibinong Science Center, LIPI
·
Strategi penyempurnaan penanaman Ecopark
sehingga menjadi acuan contoh tipe vegetasi lowland berdasarkan ecoregion di
Indonesia
·
Ecopark sebagai tempat pelatihan bagi
SDM Kebun Raya Daerah
3.3
Pengukuran C/N Serasah di
Ecopark Segmen Jawa Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong
a.
Produksi Serasah
Serasah merupakan lapisan yang terdiri dari bagian
tumbuhan telah mati seperti guguran daun, ranting, cabang, bunga, kulit kayu,
serta bagian lain yang menyebar dipermukaan tanah di bawah hutan sebelum
bahan-bahan tersebut mengalami dekomposisi (Dephut, 1997). Serasah berfungsi
sebagai penyimpanan air sementara yang secara berangsur akan melepaskannya ke
tanah bersama dengan bahan organik berbentuk zat hara yang larut, memperbaiki
struktur tanah dan menaikkan kapasitas penyerapan (Arief,1994).
Serasah adalah lapisan teratas dari permukaan tanah yang
mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan. Serasah yang jatuh
dipermukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan
mengurangi penguapan. Tinggi rendahnya peranan serasah ini ditentukan oleh
kualitas bahan organik tersebut. Semakin rendah kualitas bahan, semakin lama
bahan itu lapuk, sehingga terjadi akumulasi serasah yang cukup tebal pada
permukaan tanah hutan (Hairiah, 2005).
Produktivitas serasah di hutan hujan tropis adalah yang
tertinggi dibanding dengan wilayah-wilayah lain (Tabel 1.). oleh karena itu produktivitas
serasah yang tinggi, maka akan memberikan keuntungan bagi vegetasi untuk
meningkatkan produktivitas karena tersedianya sumber hara yang banyak. Hal ini
disebabkan karena serasah yang jatuh ke permukaan tanah tidak akan lama
tertimbun di lantai hutan tetapi segera mengalami dekomposisi, sehingga dapat
segera diserap kembali oleh tumbuhan. Barbour et al., 1987 dalam Wiharto, 2003 mengatakan bahwa laju dekomposisi
serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini
terutama dipengaruhi oleh kelembaban udara, organisme flora dan fauna mikro dan
kandungan kimia dari serasah.
Tabel 1. Laju Produktivitas Serasah di Berbagai Tipe
Ekosistem Dunia (Jordan, 1971 dalam Wiharto, 2003)
Ekosistem
|
Lokasi
|
Produktivitas Serasah g/m/tahun
|
Hutan Hujan Tropis
|
Thailand
|
2322
|
Herba Parrenial
|
Jepang
|
1484
|
Hutan Iklim Sedang
|
Di beberapa lokasi
|
1200
|
Prairi
|
Amerika Serikat
|
520
|
Hutan Musim Tropis
|
Pantai Gading
|
440
|
Hutan Oak
|
Rusia
|
350
|
Taiga
|
Rusia
|
200-350
|
Savana Kering
|
Rusia
|
290
|
Serasah merupakan material organik yang mampu diuraikan
oleh mikroorganisme dan organisme kecil lain. Material organik diuraikan oleh
mikroorganisme karena berperan sebagai sumber energi dan makanan bagi
mikroorganisme tersebut. Hasil penguraian oleh mikroorganisme akan berguna
sebagai penyedia hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping sebagai
sumber energi bagi mikroorganisme juga sebagai sumber hara bagi tanaman
(Simanungkalit et al., 2006).
Serasah diuraikan oleh kompleks mikroorganisme, baik
bakteri, jamur, lipan maupun kumbang tanah. Serasah diuraikan menjadi material
anorganik untuk dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan. Dekomposisi serasah sangat
dipengaruhi oleh suhu, kelembaban udara, jumlah dan keragaman mikroorganisme
serta kandungan kimia serasah.
Serasah dalam jumlah yang besar terdiri dari senyawa-senyawa
organik, yang memiliki persentase yang relatif bervariasi pada setiap tanaman.
Secara umum tegakan kayu keras lebih banyak mengembalikan hara mineral jika
dibandingkan dengan tegakan konifer. Pada prinsipnya setiap bagian tanaman
berbeda pula kandungan hara mineralnya sehingga serasah harus dikelompokkan
antara batang, daun dan rantingnya. Serasah dari spesies tanaman bervariasi
besar dalam kandungan hara dengan spesies dari tanah yang tidak subur umumnya
akan menghasilkan serasah yang miskin ke dalam tanah. Menurut (Barbour et al., 1987 dalam Ristanto (2006)) bahwa
laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem
lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembaban udara, organisme flora
dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah. Osono dan Takeda (2006)
menambahkan bahwa kecepatan dekomposisi serasah daun dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah:
1.
Tipe serasah
Kandungan senyawa yang
terkandung di dalam serasah seperti kandungan lignin, selulosa dan
karbohidratnya. Tipe serasah mempengaruhi kemampuan suatu mikroba untuk
mendekomposisi senyawa-senyawa kompleks yang terkandung di dalam serasah,
lignin lebih susah untuk didekomposisi, selanjutnya selilosa dan gula sederhana
adalah senyawa berikutnya yang relatif cepat didekomposisi.
2.
Temperatur
Kecepatan dekomposisi
tertinggi ditunjukan pada suhu 24o C. Suhu merupakan parameter
fisika yang maempengaruhi sifat fisiologi mikroorganisme yang hidup di
lingkungan tersebut. Setiap peningkatan suhu sebesar 10o C akan
meningkatkan laju metabolisme organisme menjadi dua kali lipat, akan tetapi
penambahan suhu maksimal dapat mematikan mikroorganisme pendegragasi serasah.
3.
Pengaruh pH
Aktivitas enzim selulase
dipengaruhi oleh pH, aktivitas selulase kapang berkisar anatara 4,6-6,5. Enzim
pada umumnya hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas. Nilai pH optimum suatu
enzim ditandai dengan menurunnya aktivitas yang disebabkan oleh turunnya
afinitas atau stabilitas enzim. Pengaruh pH pada aktivitas enzim disebabkan
oleh terjadinya perubahan tingkat ionisai pada enzim atau substrat sebagai
akibat perubahan pH.
Perubahan jumlah produksi serasah tidak hanya disebabkan
oleh kondisi lingkungan yang berbeda akan tetapi juga disebabkan oleh kualitas
hutan atau tipe hutan, susunan/komposisi jenis yang mendominasi ekosistem hutan
dan musim. Terdapat 3 lapisan dari lantai hutan yang biasanya ditemukan pada
semua bagian tanah. Lapisan tersebut antara lain yaitu:
1.
Lapisan serasah atau L
Lapisan tersebut terdiri
atas bagian tanaman yang sudah mati namun masih belum berubah bentuk atau masih
dapat dikenali.
2.
Lapisan F
Lapisan tersebut berada
di bawah lapisan serasah yang terbagi dalam beberapa bagian, bagian tersebut
merupakan bahan organik yang telah terdekomposisi/ terurai namun masih dapat
dikenali dari bentuk aslinya.
3.
Lapisan H
Lapisan tersebut
merupakan lapisan di atas tanah mineral yang mengandung sebagian besar bahan
organik yang telah terdekomposisi sempurna.
Produktivitas serasah penting diketahui dalam hubungannya
dengan pemindahan energi dan unsur-unsur hara dari ekosistem hutan. Adanya
suplai hara dari daun, ranting, dan batang yang banyak mengandung hara mineral
akan dapat memperkaya tanah dengan membebaskan sejumlah mineral melalui
dekomposisi (Darmanto, 2003). Studi tentang aspek kuantitatif jatuhan serasah
akan berlangsung sebagai bagian penting dari ekologi hutan (Kusmana, 1993).
Menurut (Nasoetion, 1990 dalam Ristanto, 2006), serasah
adalah lapisan teratas dari permukaan tanah yang mungkin terdiri atas lapisan
tipis sisa tumbuhan. Tanaman memberikan masukan bahan organik melalui daun-daun,
cabang, dan rantingnya yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah
mati. Serasah yang jatuh dipermukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah
dari pukulan air hujan dan mengurangi penguapan. Produktivitas serasah yang
tinggi akan memberikan keuntungan bagi vegetasi untuk meningkatkan
produktivitas karena tersedianya sumber hara yang banyak.
Dari hasil perhitungan berat kering sampel pada 10 titik
di segmen jawa terlihat bahwa produksi serasah total pada segmen tersebut
sebesar 564,05 g/m2 atau sekitar 2,82 ton/0,5 ha.
Tabel 2. Rata-rata berat kering produksi serasah pada
Segmen Jawa
Produksi Serasah Segmen Jawa
|
|||||||
No.
|
Daun (g)
|
Batang (g)
|
Ranting (g)
|
g/0.25 m2
|
g/m2
|
ton/ha
|
t/0,5 ha
|
1
|
134,91
|
42,26
|
62,89
|
240,06
|
960,24
|
9,60
|
4,80
|
2
|
62,05
|
0,00
|
47,62
|
109,67
|
438,68
|
4,38
|
2,19
|
3
|
39,49
|
0,00
|
27,41
|
66,90
|
267,60
|
2,67
|
1,33
|
4
|
120,50
|
0,00
|
0,00
|
120,50
|
482,00
|
4,82
|
2,41
|
5
|
110,82
|
0,00
|
23,60
|
134,42
|
537,68
|
5,37
|
2,68
|
6
|
66,03
|
28,85
|
20,46
|
115,34
|
461,36
|
4,61
|
2,30
|
7
|
81,62
|
31,85
|
36,75
|
150,22
|
600,88
|
6,00
|
3,00
|
8
|
198,48
|
41,20
|
19,01
|
258,69
|
1034,76
|
10,34
|
5,17
|
9
|
84,41
|
34,15
|
25,38
|
143,94
|
575,76
|
5,75
|
2,87
|
10
|
56,37
|
6,53
|
7,50
|
70,40
|
281,6
|
2,81
|
1,40
|
Rerata
|
95,46
|
18,48
|
27,06
|
141,01
|
564,05
|
5,64
|
2,82
|
Produksi serasah total yang dihasilkan paling banyak
berasal dari serasah daun yaitu sekitar 80% dari total atau rata-rata. Produksi
serasah batang sekitar 5% dan produksi serasah dari ranting sekitar 15%.
Perbedaan jumlah produksi serasah total disebabkan oleh kondisi ekologis,
kerapatan pohon, serta umur tumbuhan yang berbeda. Segmen Jawa terletak di
dekat danau yang mendapatkan pasokan air cukup baik dan pohon-pohon yang berada
di segmen ini mempunyai luas tutupan kanopi yang besar, sehingga jumlah jatuhan
serasah banyak.
Gambar 4. Berat Basah Total Serasah pada
Segmen Jawa
Gambar 5. Berat Kering Total Serasah
pada Segmen Jawa
Diversitas spesies pohon yang tinggi memberi masukan
serasah yang beragam kecepatan pelapukannya yang akan menentukan tingkat
penutupan permukaan tanah oleh serasah. Komposisi jenis tumbuhan pada Segmen
Jawa berdasarkan penelitian sebelumnya terdapat 36 suku, 82 marga dan 101
jenis. Penutupan tanah penting untuk mengendalikan penguapan berlebihan pada
saat kemarau, sehingga tanah tetap lembab dan kekeringan tidak terjadi secara
berkepanjangan. Pada saat musim hujan serasah berperan penting dalam
meningkatkan jumlah air yang masuk dalam tanah, mengurangi jumlah dan laju
limpasan permukaan pada lahan berlereng.
Kualitas serasah yang beragam akan menentukan
tingkat penutupan permukaan tanah oleh serasah. Kualitas serasah berkaitan
dengan kecepatan pelapukan serasah (dekomposisi). Semakin lambat lapuk maka
keberadaan serasah di permukaan tanah menjadi lebih lama. Parameter lingkungan
yang di ukur sebagai data pendukung yaitu kelembaban dan suhu udara. Rata-rata
suhu udara yang didapatkan 31,33 sedangkan kelembaban 70. Hal ini dapat dilihat
dari tabel berikut ini:
Tabel 3. Pengukuran Parameter Lingkungan
Waktu
|
Suhu
|
Kelembaban
|
Pagi
|
31
|
69
|
Siang
|
32
|
69
|
Sore
|
31
|
72
|
b. Kandungan Nilai C/N
Biomassa hutan berperan penting dalam siklus
biogeokimia terutama dalam siklus karbon (Sutaryo, 2009). Tanaman atau pohon di
hutan berfungsi sebagai tempat penimbunan atau pengendapan karbon (CIFOR,
2003). Besarnya kandungan karbon dan biomassa pohon bervariasi bedasarkan
bagian tumbuhan yang diukur, tingkatan tumbuhan dan kondisi lingkungannya.
Lapisan serasah atau lantai hutan merupakan seluruh
bahan organik mati yang berada di atas permukaan. Beberapa material organik ini
masih dapat dikenali atau masih sedikit terdekomposisi (Pearson dkk., 2005
dalam Yuanita, Windusari dkk, 2012). Mikroorganisme tanah sangat berperan
terhadap dekomposisi bahan organik tanah dan sebagai produk akhir dari proses
ini adalah pelepasan CO2 (Barchia, 2009). Oleh karena itu mengukur
jumlah karbon dalam biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2
di atmosfer yang di serap oleh tanaman, dan pengukuran karbon dalam bagian
tanaman yang telah mati (nekromassa) dapat menggambarkan CO2 yang
tidak dilepaskan ke udara melalui pembakaran. Laju dekomposisi sisa tanaman
juga dipengaruhi oleh kandungan nitrogen dalam jaringan tanaman.
Analisis kandungan C/N dari sampel serasah dilakukan
untuk mendapatkan informasi tambahan mengenai siklus hara yang terjadi pada
Segmen Jawa. Hasil yang didapatkan dari pengukuran C/N sampel serasah pada
Segmen Jawa memiliki peresentase rata-rata sebesar 12,64 persen.
Tabel 4. Kandungan Unsur C/N pada Sampel Serasah
Segmen Jawa
No.
|
C %
|
N %
|
C/N
|
1
|
42,92
|
3,40
|
12,58
|
2
|
42,52
|
3,35
|
12,66
|
3
|
41,43
|
3,41
|
12,12
|
4
|
45,01
|
3,54
|
12,68
|
5
|
41,51
|
3,37
|
12,28
|
6
|
44,10
|
3,74
|
11,77
|
7
|
38,37
|
3,51
|
10,90
|
8
|
40,75
|
3,41
|
11,93
|
9
|
38,72
|
3,22
|
12,00
|
10
|
37,73
|
2,59
|
14,56
|
11
|
37,67
|
3,43
|
10,95
|
12
|
37,23
|
2,87
|
12,95
|
13
|
37,79
|
0,00
|
0,00
|
14
|
35,49
|
2,61
|
13,56
|
15
|
37,11
|
3,24
|
11,44
|
16
|
39,42
|
3,03
|
12,97
|
17
|
38,86
|
2,86
|
13,55
|
18
|
38,23
|
3,06
|
12,47
|
19
|
40,67
|
2,75
|
14,78
|
20
|
36,98
|
2,65
|
13,90
|
Rerata
|
39,62
|
3,00
|
12,64
|
SD
|
2,60
|
0,78
|
1,08
|
SE
|
0,58
|
0,17
|
0,24
|
Serasah merupakan salah satu komponen di dalam hutan
yang juga dapat menyimpan karbon. Serasah didefinisikan sebagai bahan organik
mati yang berada di atas tanah/lantai hutan [Sutaryo, 2009 dalam Yuanita
Windusari dkk, (2012)]. Pada tumbuhan bawah, kandungan karbon dan biomassanya
dipengaruhi oleh komposisi vegetasi tumbuhan bawah penyusunnya. Demikian juga
halnya dengan kandungan karbon dan biomassa pada serasah yang dipengaruhi oleh
komponen-komponen penyusunnya, seperti kayu busuk, daun dan ranting (Asril,
2009).
Gambar 6. Kandungan
Karbon dari Serasah Daun
Gambar
7. Kandungan Karbon dari Serasah Ranting
Gambar 8. Kandungan Karbon dari Serasah
Batang
Barchia (2009) menyatakan bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi laju dekomposisi adalah pengolahan tanah, temperatur, kelembaban
tanah, pH, kedalaman dan aerasi tanah. Mikroorganisme tanah berperan besar
dalam dekomposisi bahan organik tanah dan pelepasan CO2. Kehilangan
bahan organik akibat dekomposisi diimbangi oleh adanya suplai bahan organik
dari vegetasi penutup yang terbentuk dari resintesis akar, serasah, dan bagian
lain tumbuhan yang mengalami pelapukan.
Aktivitas mikroorganisme heterotrop sangat tinggi
pada wilayah hutan tropis basah, sehingga laju pelepasan karbon di wilayah ini
cenderung tinggi. Semua karakteristik tanah seperti pH, temperatur, potensial
air, struktur tanah dan aerasi akan mempengaruhi dekomposisi bahan organik
(Barchia, 2009).
Tipe vegetasi mengandung keragaman struktur senyawa-senyawa
penyusunnya, sehingga kualitas sisa tanamannya akan mempengaruhi tingkat
stabilitas dari bahan organik dan berkaitan dengan rasio CN. Perbandingan CN
sangat menentukan mineralisasi atau immobilisasi nitrogen dalam sel
mikroorganisme. Rasio CN pada hutan lebih tinggi dari pada lahan hutan yang diubah
menjadi agroekosistem dan mencerminkan kualitas substrat.
Iklim sangat berperan dalam laju dekomposisi bahan
organik, meningkatnya temperature dan kelembaban menyebabkan proses dekomposisi
berlangsung cepat. Hal ini menyebabkan akumulasi bahan organik di tanah tropis
sanagt jarang akibat iklim optimum bagi aktivitas mikroorganisme untuk
melakukan dekomposisi bahan organik.
Yuniar, 2002 dalam Barchia (2009) menyatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi adalah curah hujan, temperatur, pH,
dan kandungan liat tanah. Faktor pembentuk tanah yang mempengaruhi laju
dekomposisi bahan organik adalah iklim, vegetasi, topografi, bahan induk, dan
umur tanaman. Vegetasi akan memproduksi biomassa dan sisa biomassa menjadi
sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah.
Menurut Indriyanto (2006) dalam Asril (2008), pada
setiap ekosistem jumlah karbon tersimpan berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh
perbedaan keanekaragaman dan kompleksitas komponen yang menyusun ekosistem.
Kompleksitas ekosistem akan berpengaruh kepada cepat atau lambatnya siklus
karbon yang melalui setiap komponennya.
Cadangan karbon dalam biomassa bahan mati juga
berguna untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah. Nilai potensi rata-rata
karbon pada serasah berkisar 3,15-6,24 tonC/ha. Komponen biomassa yang memiliki
kandungan karbon terbesar terdapat pada serasah (Van Noordwjik et al., 2002;
Ojo, 2003 dan Triantomo, 2005 dalam Yudhistira, 2006).
DAFTAR
PUSTAKA
Arief, A. 1994. Hutan Hakikat dan Pengaruhnya terhadap
Lingkungan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Asril. 2009. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan
Tanah Rawa Gambut di Stasiun Penelitian Suaq Balimbing Kabupaten Aceh Selatan
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Barchia,
M. F. 2009. Evolusi Karbon Tanah.
Artikel Surat Kabar Kompas.
BSN. 2011. Pengukuran dan Perhitungan Cadangan
Karbon-Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan (Ground Based
Forest Carbon Accounting). Jakarta: BSN.
Chairul, M. S.
dan Erizal, M. 2009. Rehabilitasi Hutan
Hujan Tropis Dataran Rendah Melalui Interaksi Tumbuhan dengan Jatuhan Serasah
dan Dekomposisi Daunnya. Padang: Universitas Andalas.
CIFOR.
2003. Perdagangan Karbon. Warta
Kebijakan No. 8 Februari 2003.
Darmanto, D.
2003. Produktivitas dan Model Pendugaan
Dekomposisi Serasah Tegakan Agathis (Agathis lorantifolia Salisb), Puspa
(Schima Wallichii D.C Korth) dan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese).
Skripsi. Fakultas Kehutanan. IPB.
Dephut. 1997. Ensiklopedia Kehutanan Indonesia. Ed ke-1.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan
RI. Jakarta.
Go, L. B. and
Sim, R. E. H. 2001. Effects of Light,
Temperature, water and meatwork effluent irrigation on eucalypt leaf litter
decomposition under controlled environmental conditions. Applied Soil
Ecology. 17: 229-237.
Hairiah.
2005. Neraca Hara dan Karbon dalam Sistem
Agroforesti. 7 Mei 2005.
Kusmana. 1993. A Study on Mangrove Forest Management based
on Ecological Data in East Sumatera Indonesia.
Mahmudi, M.
2010. Estimasi Produksi Ikan Melalui
Nutrien Searasah daun Mangrove di Kawasan Reboisasi Rhizophora, Nguling,
pasuruan Jawa Timur. Malang: Universitas Brawijaya.
Murayama, S. and
Zahari, A. B. 1992. Biochemical
Decomposition of Tropical Forest. In
Proceeding of the International Symposium on Tropical Peatland. Kuching.
Sarawak, Malaysia.
Nasoetion, A. H.
1990. Pengantar ke Ilmu-Ilmu Pertanian.
Untuk Mahasiswa Baru. IPB.
Raharjoe, R.
2006. Studi terhadap Produktivitas
Serasah, Dekomposisi Serasah, Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang serta Leaching
pada Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus, di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan
Gunung Walat, Sukabumi. Skripsi: IPB.
Regina, I. s.
and Tarazona, T. 2001. Nutrient Pools to
the Soil Through Organic Matter and Through Fall Under a Scot Pine Plantation
in the Sierra de la Demada, Spain. European Journal of Soil Biology. 37:
125-133.
Salisbury.
1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid-3.
Bandung: ITB Press.
Saetre, P. 1998.
Decomposition, Microbial Community
Strusture and Earthworm Effects Along a Birch-spure Soil Gradient. Ecology.
Simanungkalit,
R. D. M. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati. Bogor: Balai Besar LitBang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Breemen,
V. N. 1995. Nutrient Cycling Strategis. Plant and Soil.
Wiharto, M.
2003. Produktivitas Vegetasi Hutan Hujan
Tropis. http://naturehealthy.webs.com/produktivitas_hht.pdf.
Windusari,
Yuanita dkk. 2012. Dugaan Cadangan Karbon
Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah di Kawasan Suksesi Alami pada Area
Pengendapan Tailing PT Freeport Indonesia. Palembang.
Yudhistira.
2006. Potensi dan Keragaman Cadangan
Karbon Hutan Rakyat dengan Pola Agroforestri: Kasus di Desa Kertayasa Kecamatan
Panawangan Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Zamroni dan
Yuliadi. 2008. Produksi Serasah Hutan
Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi Lombok Barat. Mataram: Universitas
Mataram.